Selasa, 21 Mei 2013
0 komentar

Ganti Kacamata, Gessss !

16.51

Gesa tampak berkeluh lagi dibalik tas di depan wajahnya. Hari ini pembagian nilai ujian.
"Udah, bersyukur..!"seru teman baik Gesa, Rere. 
"Gue aja yang wajib remedial biasa aja.."lanjutnya lagi.
Gesa masih membeku dengan tas yang erat di kepit di lengannya. Wajahnya tak tampak karena tertutup tas.
Tiba-tiba Dira, teman sekelas mereka berjalan melewati mereka. Dira berjalan santai dengan wajah yang sedikit naik ke atas. Dia berjalan terus tanpa memperdulikan dua teman sekelasnya yang duduk di bawah pohon taman sekolah.
"Dasar, perempuan sombong"celetuk Rere. 
Gesa mulai sedikit menggeser rengkuhan tas di dadanya. Seketika dia melihat Dira, ia kembali menunduk.
Rere mulai gelisah karena sikap plegma-sanguinnya, membuat dia tidak terlalu memikirkan masalahnya.Tetapi tidak dengan Gesa. Dengan sedikit memaksa Rere kembali merusuh kediaman Gesa.
"Ges, gue heran ya, kenapa lu terlalu memikirkan nilai yang kalau menurut gue itu ya, aman. Coba deh lu lihat gue.."
Gesa mulai bergerak. Matanya memerah karena cukup lama terpejam. Rere sedikit menyunggingkan ujung bibirnya. Dia langsung memeluk Gesa.
"Ges, gue sedih liat lu seperti ini. kita ga bole terus berlarut. uda yaa,, gimana kalau kita nge-ice cream bentar, gue traktir..." Rere melepas pelukannya. 
Gesa mulai sedikit tersenyum. 
"Tumben lu meluk gue.." celetuk Gesa sambil beranjak
.
"Eh dasar yaa. Elu .. gue uda iba gini diledekin, dasar melankolis nyebelin.." teriak Rere yang ikut beranjak dan mengejar Gesa.

****** Esoknya di sekolah
Gesa mulai sedikit lebih ceria dari biasanya. Ternyata kemarin Rere berhasil memaksanya untuk cerita banyak. Gesa terlalu memikirkan nilainya, Dia terlalu memikirkan komentar orang terhadap dia. Rere berusaha meyakinkannya untuk tetap semangat dan lebih baik lagi. Entah apa yang merasukinya hingga Rere bisa ngomong seperti itu.
Seketika UAS berlalu, nilai pun berdatangan. Gesa kian hari kian bermurung ria. Seolah musim murungnya telah tiba. Rere bingung menyikapinya. Sikap plegma semakin membuatnya kewalahan menghadapi Gesa. Tapi begitupun, Rere tetap setia menemani Gesa, bahkan di saat keduanya hanya bisa duduk diam bareng-bareng karena suasana yang terus membeku.
Saat malam datang, Gesa duduk di taman rumahnya sendirian. Sifat pemikirnya membawanya kepada kejadian di kantin tadi saat Rere terlihat putus asa menghadapi dirinya.
“Tuhan, teman macam apa aku ini. Egois. Tak berpengharapan, bisanya cuman nutupin muka pake tas. Apaan itu namanya.. Hei .. Ges.. emang lu bisa gitu terus..  masukin aja tuh muka ke tas sekalian, biar lu tenang,,” geramnya.
Seketika ia terhenyak dari ucapannya. Dia mengingat lagi ucapannya.
            “tenang? Apa itu tenang namanya? Bersembunyi di balik tas? Tidak ada, hanya ketika orang pergi, kau muncul. Itu tenang, Ges?” Gesa mulai mempertanyakan sikapnya.
Malam membawa Gesa ke dalam kebingungan yang kian membelenggunya. Akhirnya ia pun masuk kamar dan melelapkan diri.

*Di kantin sekolah
Gesa dan Rere kembali duduk berdua. Sedikit berbeda dengan respon Gesa. Kini ia sedikit lebih bersemangat. Rere kebingungan dan cukup senang dengan keadaan Gesa.
            “uhuk,., tumben semangat gini” ledek Rere.
            “yeee, giliran temannya baikan diledeki..” sahut Gesa sedikit masam lalu tertawa..
            “Re, jujur gue masih kepikiran gitu sama masalah sekarang ini”
            “Kenapa, Ges ? masalah nilai? Atau apa?
            “Tentang sikap gue dalam menghadapi masalah”
Rere tersenyum. Dia melihat tetes air mata mengalir di pipi Gesa. Dia pun mengambil tisu dan memberikan kepada Gesa.
            “Ges, gue ngerti lu luar dalam. Gue paham kalau lu kayak gitu. Tapi gue juga sedih ketika lu terus bermuram durja tanpa ngomong apapun ke gue. Ya gue ga yakin pasti bisa bantu, tapi gue bisa dengeri kok”
            “makasih ya Re. Gue juga capek harus gini terus, tapi gue ga tahu harus bersikap gimana juga..”
            “Ges, lu ga usah ngebandingin diri lu sama orang lain”
Gesa hanya terdiam. Ia kembali mengingat saat ia membandingkan nilainya dengan Dira dan teman-teman lainnya termasuk Rere.
            “Ges, lu cukup bersyukur dengan apa yang lu dapat tanpa harus tau ada orang yang lebih jelek nilainya dari lu” tambahnya lagi.
Gesa menunduk malu. Selama ini dia lupa bersyukur.
Setiap ucapan Rere seakan menampar Gesa. Selama ini dia terlalu sering mengkhawatirkan komentar orang tentangnya, dia bahkan tak memikirkan untuk apa semua ini. Rere menyadarkannya.
            “Ges, kita harus sadar kenapa dan untuk apa kita melakukan ini semua. Mendapat nilai bagus. Untuk apa? Famous? Trus kalau uda dapat, untuk apa? Semua bakalan sia-sia kalau kita ga tahu tujuan akhir kita. Gue sedikit ceramahin yaa, soalnya kemarin gue baru ceramahi kemarin sama papa dengan teori-teori yang beyond banget.. haha” sambil tertawa kecil kemudian serius lagi.
            “Jadi, kita itu harus tau tujuan hidup kita Ges. Kita belajar mati-matian, dapat nilai bagus, bukan untuk populer, tapi kita mau ilmunya. Ntar kalau kita jadi arsitek, kita ga ngancurin bangunan orang, karena kita benar tahu esensinya. Ges, di saat kita ga bisa dapat nilai bagus, bukan berarti kita gagal. Tapi, disitu Tuhan ingin melatih kita untuk lebih berusaha lagi. Tuhan juga ingin liat respon hati kita. Terkadang kalau kita fokus dengan diri sendiri, kita ga akan pernah puas Ges. Kita ga tahu rasanya cukup itu gimana, apalagi kalau kita ngerasa itu semua hasil jerih payah kita. Kemarin sih yang gue tangkep dari ceramah papa, semua itu anugerah, berkat dari Tuhan. nah, kalau kita di kasih kesempatan, itu berarti kita harus bertanggung jawab. Nah kalau kita gagal, kita minta tolong sama Tuhan, dan terus bergantung sama Dia. Kalau orang nilainya jelek, kita ga perlu takut, karena tujuan kita bukan untuk nyenengin mereka tapi Tuhan. Gitu Ges..” Rere tampak begitu antusias.
Gesa kembali meneteskan air mata. Kali ini berbeda. Dia menyadari bahwa selama ini dia hanya berfokus pada dirinya dan melupakan tujuan utamanya. Gesa langsung memeluk Rere.
            “Thanks, Re. Semoga gue bisa lebih baik lagi melihat dan menyikapi semuanya” bisik Gesa.
Gesa pun membetulkan posisi duduknya. Dengan tegap dan pandangan ke depan, dia berkomitmen,
            “mulai sekarang, ganti kacamata, Ges! Semangat....”

0 komentar:

Posting Komentar

Hesty Sihotang. Diberdayakan oleh Blogger.
 
Toggle Footer
Top