Gesa tampak berkeluh lagi dibalik tas di
depan wajahnya. Hari ini pembagian nilai ujian.
"Udah, bersyukur..!"seru teman baik
Gesa, Rere.
"Gue aja yang wajib remedial biasa
aja.."lanjutnya lagi.
Gesa masih membeku dengan tas yang erat di
kepit di lengannya. Wajahnya tak tampak karena tertutup tas.
Tiba-tiba Dira, teman sekelas mereka berjalan
melewati mereka. Dira berjalan santai dengan wajah yang sedikit naik ke atas.
Dia berjalan terus tanpa memperdulikan dua teman sekelasnya yang duduk di bawah
pohon taman sekolah.
"Dasar, perempuan sombong"celetuk
Rere.
Gesa mulai sedikit menggeser rengkuhan tas di
dadanya. Seketika dia melihat Dira, ia kembali menunduk.
Rere mulai gelisah karena sikap
plegma-sanguinnya, membuat dia tidak terlalu memikirkan masalahnya.Tetapi tidak
dengan Gesa. Dengan sedikit memaksa Rere kembali merusuh kediaman Gesa.
"Ges, gue heran ya, kenapa lu terlalu
memikirkan nilai yang kalau menurut gue itu ya, aman. Coba deh lu lihat
gue.."
Gesa mulai bergerak. Matanya memerah karena
cukup lama terpejam. Rere sedikit menyunggingkan ujung bibirnya. Dia langsung
memeluk Gesa.
"Ges, gue sedih liat lu seperti ini.
kita ga bole terus berlarut. uda yaa,, gimana kalau kita nge-ice cream bentar,
gue traktir..." Rere melepas pelukannya.
Gesa mulai sedikit tersenyum.
"Eh dasar yaa. Elu .. gue uda iba gini
diledekin, dasar melankolis nyebelin.." teriak Rere yang ikut beranjak dan
mengejar Gesa.
****** Esoknya di sekolah
Gesa mulai sedikit lebih ceria dari biasanya.
Ternyata kemarin Rere berhasil memaksanya untuk cerita banyak. Gesa terlalu
memikirkan nilainya, Dia terlalu memikirkan komentar orang terhadap dia. Rere
berusaha meyakinkannya untuk tetap semangat dan lebih baik lagi. Entah apa yang
merasukinya hingga Rere bisa ngomong seperti itu.
Seketika UAS berlalu, nilai pun berdatangan.
Gesa kian hari kian bermurung ria. Seolah musim murungnya telah tiba. Rere
bingung menyikapinya. Sikap plegma semakin membuatnya kewalahan menghadapi
Gesa. Tapi begitupun, Rere tetap setia menemani Gesa, bahkan di saat keduanya
hanya bisa duduk diam bareng-bareng karena suasana yang terus membeku.
Saat malam datang, Gesa duduk di taman
rumahnya sendirian. Sifat pemikirnya membawanya kepada kejadian di kantin tadi
saat Rere terlihat putus asa menghadapi dirinya.
“Tuhan, teman macam apa aku ini. Egois. Tak
berpengharapan, bisanya cuman nutupin muka pake tas. Apaan itu namanya.. Hei ..
Ges.. emang lu bisa gitu terus.. masukin
aja tuh muka ke tas sekalian, biar lu tenang,,” geramnya.
Seketika ia terhenyak dari ucapannya. Dia
mengingat lagi ucapannya.
“tenang?
Apa itu tenang namanya? Bersembunyi di balik tas? Tidak ada, hanya ketika orang
pergi, kau muncul. Itu tenang, Ges?” Gesa mulai mempertanyakan sikapnya.
Malam membawa Gesa ke dalam kebingungan yang
kian membelenggunya. Akhirnya ia pun masuk kamar dan melelapkan diri.
*Di kantin sekolah
Gesa dan Rere kembali duduk berdua. Sedikit
berbeda dengan respon Gesa. Kini ia sedikit lebih bersemangat. Rere kebingungan
dan cukup senang dengan keadaan Gesa.
“uhuk,.,
tumben semangat gini” ledek Rere.
“yeee,
giliran temannya baikan diledeki..” sahut Gesa sedikit masam lalu tertawa..
“Re,
jujur gue masih kepikiran gitu sama masalah sekarang ini”
“Kenapa,
Ges ? masalah nilai? Atau apa?
“Tentang
sikap gue dalam menghadapi masalah”
Rere tersenyum. Dia melihat tetes air mata
mengalir di pipi Gesa. Dia pun mengambil tisu dan memberikan kepada Gesa.
“Ges,
gue ngerti lu luar dalam. Gue paham kalau lu kayak gitu. Tapi gue juga sedih
ketika lu terus bermuram durja tanpa ngomong apapun ke gue. Ya gue ga yakin
pasti bisa bantu, tapi gue bisa dengeri kok”
“makasih
ya Re. Gue juga capek harus gini terus, tapi gue ga tahu harus bersikap gimana
juga..”
“Ges,
lu ga usah ngebandingin diri lu sama orang lain”
Gesa hanya terdiam. Ia kembali mengingat saat
ia membandingkan nilainya dengan Dira dan teman-teman lainnya termasuk Rere.
“Ges,
lu cukup bersyukur dengan apa yang lu dapat tanpa harus tau ada orang yang
lebih jelek nilainya dari lu” tambahnya lagi.
Gesa menunduk malu. Selama ini dia lupa
bersyukur.
Setiap ucapan Rere seakan menampar Gesa.
Selama ini dia terlalu sering mengkhawatirkan komentar orang tentangnya, dia
bahkan tak memikirkan untuk apa semua ini. Rere menyadarkannya.
“Ges,
kita harus sadar kenapa dan untuk apa kita melakukan ini semua. Mendapat nilai
bagus. Untuk apa? Famous? Trus kalau
uda dapat, untuk apa? Semua bakalan sia-sia kalau kita ga tahu tujuan akhir
kita. Gue sedikit ceramahin yaa, soalnya kemarin gue baru ceramahi kemarin sama
papa dengan teori-teori yang beyond banget..
haha” sambil tertawa kecil kemudian serius lagi.
“Jadi,
kita itu harus tau tujuan hidup kita Ges. Kita belajar mati-matian, dapat nilai
bagus, bukan untuk populer, tapi kita mau ilmunya. Ntar kalau kita jadi
arsitek, kita ga ngancurin bangunan orang, karena kita benar tahu esensinya.
Ges, di saat kita ga bisa dapat nilai bagus, bukan berarti kita gagal. Tapi,
disitu Tuhan ingin melatih kita untuk lebih berusaha lagi. Tuhan juga ingin
liat respon hati kita. Terkadang kalau kita fokus dengan diri sendiri, kita ga
akan pernah puas Ges. Kita ga tahu rasanya cukup itu gimana, apalagi kalau kita
ngerasa itu semua hasil jerih payah kita. Kemarin sih yang gue tangkep dari
ceramah papa, semua itu anugerah, berkat dari Tuhan. nah, kalau kita di kasih
kesempatan, itu berarti kita harus bertanggung jawab. Nah kalau kita gagal,
kita minta tolong sama Tuhan, dan terus bergantung sama Dia. Kalau orang
nilainya jelek, kita ga perlu takut, karena tujuan kita bukan untuk nyenengin
mereka tapi Tuhan. Gitu Ges..” Rere tampak begitu antusias.
Gesa kembali meneteskan air mata. Kali ini
berbeda. Dia menyadari bahwa selama ini dia hanya berfokus pada dirinya dan
melupakan tujuan utamanya. Gesa langsung memeluk Rere.
“Thanks,
Re. Semoga gue bisa lebih baik lagi melihat dan menyikapi semuanya” bisik Gesa.
Gesa pun membetulkan posisi duduknya. Dengan
tegap dan pandangan ke depan, dia berkomitmen,
“mulai
sekarang, ganti kacamata, Ges! Semangat....”
0 komentar:
Posting Komentar